Oleh : Muhammad Mush’ab, B.Sh, M.E ( Puket 1 STIS Al-Wafa)
Pendahuluan
Emas sebagai Instrumen Investasi Lindung Nilai dan Tantangan Transaksi di Era Modern. Emas telah lama diakui sebagai instrumen investasi primadona dan benteng lindung nilai yang efektif, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi dan ancaman inflasi.
Nilainya yang cenderung stabil dan bahkan meningkat dari waktu ke waktu menjadikannya pilihan utama masyarakat untuk menjaga nilai aset dan merencanakan investasi jangka panjang. Fenomena ini semakin menguat ketika nilai uang kertas (fiat) rentan tergerus inflasi.
Dengan harga per gram yang terus menunjukkan tren positif yang signifikan, minat masyarakat untuk memiliki emas semakin tinggi. Namun, kebutuhan dana tunai yang besar untuk pembelian emas secara langsung seringkali menjadi kendala, padahal penundaan pembelian berisiko menghadapi lonjakan harga.
Menjawab tantangan ini, sistem pembelian emas secara angsuran atau cicilan hadir sebagai solusi, memungkinkan masyarakat untuk mengakuisisi emas sesuai harga pada saat transaksi, meskipun dengan potensi adanya selisih harga dibandingkan pembelian kontan.
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) pun turut serta dalam menyediakan berbagai opsi cicilan emas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut.
Problematika Fikih Jual Beli Emas secara Kredit
Inisiatif LKS dalam menawarkan cicilan emas memunculkan diskursus fikih yang mendalam. Emas, berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW, dikategorikan sebagai barang ribawi:
الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل، سواء بسواء، يدا بيد، فمن زاد أو استزاد فقد أربى. رواه مسلم
“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama dan (dibayar secara) kontan. Barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba.” (HR. Muslim)
Demikian pula, uang kertas (fiat) yang digunakan saat ini, menurut pandangan mayoritas ulama kontemporer, juga dikategorikan sebagai barang ribawi. Konsekuensinya, jika uang fiat dipergunakan untuk membeli emas, transaksi tersebut idealnya dilakukan secara tunai tanpa penangguhan (cicilan).
Permasalahan ini menuntut pendalaman lebih lanjut mengenai relevansi sebab (illat) riba pada emas di era modern, mengingat emas kini lebih berfungsi sebagai komoditas daripada alat tukar dominan.
Analisis Ushul Fikih: Kontekstualisasi Illat Riba pada Emas dan Uang Fiat
Perubahan fundamental fungsi emas dan dominasi uang fiat sebagai alat tukar modern seyogianya menjadi pertimbangan dalam penetapan hukum. Dalam Ushul Fikih, upaya kontekstualisasi ini dikenal dengan istilah tahqiq manath, yaitu proses penerapan suatu sebab hukum (illat) pada kasus-kasus kontemporer.
Para ulama memiliki pandangan beragam mengenai illat ribawinya emas karena tidak disebutkan secara lugas dalam hadis, sehingga membuka ruang interpretasi.
Sebagian besar ulama sepakat bahwa hukum riba pada emas memiliki illat yang dapat dirasionalkan (ma’qulul makna), sehingga hukumnya dapat dianalogikan (qiyas) pada benda lain yang memiliki illat serupa. Berikut keterangan dalam kitab Subulussalam:
وإلى تحريمِ الرِّبا فيها ذهب الأمةُ كافةً، واختلفُوا فيما عداها، فذهبَ الجمهورُ إلى ثبوتهِ فيما عَدَاها مما شارَكَها في العِلِّةِ
“Dan tentang keharaman riba maka seluruh umat islam sepakat bahwa enam barang tersebut dihukumi keharaman riba, dan mereka berbeda pendapat selain dari enam barang tersebut. Adapun mayoritas ulama berpendapat bahwa keharaman riba juga terjadi pada selain enam barang yang illat-nya sesuai.”
Namun, kalangan ahli Zhahir berpendapat bahwa larangan riba fadhl terbatas pada enam jenis barang yang disebutkan dalam hadis saja (ta’abbudi). Berikut keterangan dalam kitab Bidayatul Mujtahid:
فَقَالَ قَوْمٌ مِنْهُمْ أَهْلُ الظَّاهِرِ: إِنَّمَا يَمْتَنِعُ التَّفَاضُلُ فِي صِنْفٍ صِنْفٍ مِنْ هَذِهِ الْأَصْنَافِ السِّتَّةِ فَقَطْ
“Lalu sebagian ulama diantaranya adalah ahlu dzohir berpendapat bahwa yang terkena larangan riba fadhl adalah pada enam macam barang ini saja.”
Bagi mayoritas ulama yang meyakini adanya illat, terdapat perbedaan pandangan mengenai illat spesifik pada emas:
1. Illat Al-Wazn (Berat/Timbangan): Mazhab Hanafi berpendapat bahwa illat riba pada emas adalah sifatnya yang dapat diukur berdasarkan berat. Berikut keterangannya di kitab Hasyiah Ibnu Abidin:
(وما نص) الشارع (على كونه كيليا) كبر وشعير وتمر وملح (أو وزنيا) كذهب وفضة (فهو كذلك) لا يتغير (أبدا فلم يصح بيع حنطة بحنطة وزنا كما لو باع ذهبا بذهب أو فضة بفضة كيلا
“Dan apa yang sudah ditentukan oleh syariat bahwa dia sebagai barang yang dihitung volumenya seperti gandum, jemawut, kurma, dan garam. Atau yang dihitung beratnya seperti emas, dan perak maka tidak berubah selamanya. Oleh karena itu tidak sah menjual gandum dengan gandum dengan hitungan berat dan juga menjual emas dengan emas dengan hitungan volume.”
Konsekuensinya, uang fiat yang tidak diukur berdasarkan berat tidak termasuk barang ribawi menurut perspektif ini.
2. Illat Ats-Tsaman (Karakteristik Mata Uang): Ulama yang menjadikan ats-tsaman sebagai illat terbagi lagi:
o Ats-Tsamaniyyah Al-Ghalibah (Mata Uang Dominan): Mazhab Syafi’i, melalui Imam Al-Hishni dalam kitabnya Kifayatul Akhyar, menjelaskan bahwa fulus (uang selain emas dan perak) tidak memiliki illat tsamaniyah ghalibah sehingga tidak dapat disamakan hukumnya dengan emas. Illat ini dianggap qashirah (eksklusif) untuk emas dan perak. Berikut keterangannya:
الْفُلُوس إِذا راجت رواج الذَّهَب وَالْفِضَّة هَل يجْرِي فِيهَا الرِّبَا الصَّحِيح أَنه لَا رَبًّا فِيهَا لانْتِفَاء الثمنية الْغَالِبَة فِيهَا وَلَا يتَعَدَّى الرِّبَا إِلَى غير الْفُلُوس من الْحَدِيد والنحاس والرصاص وَغَيرهمَا بِلَا خلاف
“Fulus (uang tembaga atau logam selain emas dan perak) apabila beredar (laku) sebagaimana beredarnya emas dan perak, apakah berlaku padanya riba? Pendapat yang shahih adalah tidak ada riba padanya karena tidak adanya sifat sebagai alat tukar yang dominan (ats-tsamaniyyah al-ghalibah) padanya. Dan riba tidak merembet kepada selain fulus seperti besi, tembaga, timah, dan lainnya tanpa ada perbedaan pendapat.”
o Muthlaq Ats-Tsaman (Kriteria Mata Uang Secara Umum): Mazhab Maliki dan mayoritas ulama kontemporer berpendapat illat ini bersifat muta’addiyah (dapat meluas) dan berlaku juga untuk uang fiat. Berikut keterangan dari Imam Malik dalam kitab Al-Mudawwanah:
وَلَا يَصْلُحُ فَلْسٌ بِفَلْسَيْنِ يَدًا بِيَدٍ وَلَا إِلَى أَجَلٍ، وَالْفُلُوسُ هَاهُنَا فِي الْعَدَدِ بِمَنْزِلَةِ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ فِي الْوَرِق
“Dan tidak diperkenankan jual beli 1 fulus dengan dua fulus secara kontan ataupun tidak kontan, dan fulus dalam hitungan jumlah seperti dirham dan dinar mata uang.”
Majma’ Fiqh Al-Islami (OKI) juga memutuskan:
وحيث إن التحقيق في علة جريان الربا في الذهب والفضة هو مطلق الثمنية وهي متحققة في العملة الورقية لذلك كله فإن مجلس المجمع الفقهي يقرر أن العملة الورقية نقد قائم بذاته له حكم النقدين من الذهب والفضة فتجب الزكاة فيها ويجري الربا عليها
“Dan berdasarkan hasil penelitian terkait dengan illat riba yang ada di emas dan perak adalah tsamaniyah/mata uang maka illat tersebut juga ada di uang kertas, oleh karena itu maka majma’ fiqih memutuskan bahwa uang kertas adalah mata uang yang berdiri sendiri dan memiliki hukum yang sama dengan emas dan perak maka wajib zakat atasnya dan juga terkena hukum riba.”
Meskipun demikian, Imam Malik menghukumi riba pada fulus sebagai makruh, tidak seharam riba pada dinar dan dirham:
وَقَالَ مَالِكٌ: أَكْرَهُ ذَلِكَ فِي الْفُلُوسِ وَلَا أَرَاهُ حَرَامًا كَتَحْرِيمِ الدَّنَانِيرِ وَالدَّرَاهِمِ
“Imam malik berkata: saya menghukumi makruh riba yang ada di fulus, dan tidak menganggap haram seperti haramnya riba yang ada di dinar dan dirham.”
Ulama kontemporer cenderung menghukumi riba pada uang fiat sebagai haram karena fungsinya yang telah menggantikan emas dan perak.
Fatwa DSN-MUI tentang Jual Beli Emas Tidak Tunai dan Implikasinya
Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) melalui Fatwa No. 77/DSN-MUI/V/2010 membolehkan jual beli emas secara tidak tunai. Landasan utamanya adalah pandangan bahwa emas di masa kini lebih berfungsi sebagai sil’ah (komoditas) daripada alat tukar utama. Sementara itu, uang kertas dianggap sebagai barang ribawi yang tunduk pada illat tsamaniyah.
Fatwa ini merujuk pada pendapat Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (mazhab Hambali) yang menyatakan bahwa emas yang telah diolah menjadi perhiasan (shan’ah) tidak lagi memiliki hukum sebagai mata uang, melainkan sebagai barang dagangan. Berikut keterangannya di dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in:
أَنَّ الْحِلْيَةَ الْمُبَاحَةَ صَارَتْ بِالصَّنْعَةِ الْمُبَاحَةِ مِنْ جِنْسِ الثَّيَابِ وَالسَّلَعِ، لَا مِنْ جِنْسِ الْأَثْمَانِ، وَلِهَذَا لَمْ تَحِبْ فِيهَا الزَّكَاةُ، فَلَا يَجْرِي الرِّبَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْأَثْمَانِ كَمَا لَا يَجْرِي بَيْنَ الْأَثْمَانِ وَبَيْنَ سَائِرِ السَّلَعِ
“Perhiasan yang diperbolehkan jika telah dilakukan pembuatan (perhiasan) maka termasuk bagian dari baju dan komoditas barang, bukan termasuk mata uang oleh karena itu tidak wajib zakat dan juga tidak dihukumi riba antaranya dengan mata uang seperti tidak dihukumi riba antara mata uang dengan barang biasa.”
Pendapat ini juga sejalan dengan kaidah fikih:
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما
“Hukum itu berputar (berlaku dan tidaknya) bersamaan dengan ada dan tidak adanya illat-nya.”
Dengan dianggapnya emas (terutama dalam bentuk tertentu atau dalam persepsi masyarakat modern) sebagai komoditas, maka illat riba yang melekat padanya sebagai alat tukar utama dianggap telah hilang atau tidak lagi dominan.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis Ushul Fikih dan dinamika pandangan ulama, jual beli emas secara kredit dengan uang fiat dapat diperbolehkan dengan mempertimbangkan berbagai argumen:
• Pandangan mazhab Zhahiri yang membatasi objek riba.
• Pandangan mazhab Hanafi yang mendasarkan illat pada wazan (timbangan).
• Pandangan mazhab Syafi’i yang menganggap illat tsamaniyah pada emas bersifat eksklusif dan tidak serta-merta berlaku pada uang fiat sebagai ats-tsamaniyyah al-ghalibah.
• Pandangan mazhab Maliki yang, meskipun mengakui illat tsamaniyah pada uang fiat, menghukumi riba pada fulus sebagai makruh.
• Pandangan ulama kontemporer dan Fatwa DSN-MUI yang menekankan perubahan fungsi emas menjadi komoditas dan pergeseran illat tsamaniyah kepada uang fiat. Sebagian jenis emas (misalnya emas perhiasan atau yang diperlakukan sebagai komoditas) dianggap telah kehilangan illat ribawinya sebagai alat tukar.
Dengan demikian, perubahan fungsi emas dari alat tukar dominan menjadi komoditas, serta pergeseran fungsi alat tukar kepada uang fiat, menjadi dasar pertimbangan utama dalam membolehkan jual beli emas secara tidak tunai di era kontemporer.
===================
🍀WEB : stisalwafa.ac.id
🍀IG: @stisalwafa_bogor
🍀FB: STIS Al Wafa
🍀Youtube: STIS Al Wafa Channel
🍀FansPage: Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Al Wafa