Pembatasan Anak : Vasektomi

Oleh : Muhammad Mush’ab, B.Sh, M.E ( Puket 1 STIS Al-Wafa)

Wacana vasektomi yang diusulkan oleh gubernur jawa barat menjadi isu yang menarik untuk dibahas, beragam tanggapan baik positif maupun negatif bermunculan dari berbagai lapisan masyarakat. Naluri untuk memiliki anak memang menjadi naluri dasar manusia, hal tersebut dinotice di dalam alqur’an bahwa kehidupan ini memang salah satunya adalah untuk memperbanyak keturuan (وتكاثر في الأموال والأولاد), Rasulullah SAW pun juga memerintahkan kita untuk menikahi wanita yang subur demi terciptanya keturunan supaya umat beliau bertambah banyak (تزوجوا الولود الودود فإني مكاثر بكم الأمم يوم القيامة).

Akan tetapi apakah memperbanyak anak saja menjadi tujuan utama ?, apakah islam hanya mempersoalkan masalah kuantitas tanpa mempersoalkan masalah kualitas?, tentu anggapan ini juga salah, karena Al-Quran juga sudah mewanti-wanti bahwa anak itu sebagai fitnah (ujian), dan kita juga dituntut untuk menjaga anak kita supaya tidak terjerumus ke dalam neraka. Sehingga fokus utama islam dalam hal keturunan sebenarnya adalah seimbang antara kuantitas dan kualitas, memperbanyak umat dengan kualitas yang hebat.

Itu adalah hal ideal yang dikehendaki oleh agama, tapi terkadang perjalanan hidup banyak menemukan hal yang tidak ideal. Salah satunya adalah kuantitas yang tidak dibarengi dengan kualitas. Anak terlantar pendidikannya baik pendidikan umum maupun agamanya, kemudian ketidak siapan dalam memberikan nafkah yang layak bagi anaknya, belum lagi masalah mental health yang dihadapi oleh sang ibu yang tidak siap menghadapi perubahan keadaan yang sangat drastis, dan beban-beban hidup yang lain yang itu bisa jadi mempengaruhi kualitas yang bisa diberikan kepada anak.

Itu jika kita berbicara pada individu keluarga, belum lagi jika kacamatanya kita perluas yaitu kita memandang dari aspek negara yang mengatur rakyatnya. Terjadinya surplus atau bonus dalam populasi jika tidak dibarengi dengan peningkatan dalam kualitas hidup yang lainnya seperti kesehatan, pendidikan maka bonus tersebut hanya akan menjadi ancaman di masa yang akan datang, kalau boleh pakai istilah nabi yaitu ولكنكم غثاء كغثاء السيل “kalian seperti buih di lautan”. Maka tentu negara perlu hadir juga dalam menanggulangi masalah ini.

Mungkin pembatasan anak bisa menjadi solusi dalam hal ini, khususnya bagi mereka yang belum siap dalam memberikan kualitas yang layak bagi anaknya dalam aspek apapun. Tapi apakah ini tidak berarti tidak meyakini taqdir? dan apakah ini tidak bertentangan dengan konsep tawakal?. Islam mengajarkan kita untuk tidak menjadi jiwa yang pasrah begitu saja tanpa adanya usaha yang ditempuh, alasan dalam membatasi anak tentu banyak sekali khususnya di zaman sekarang yang kehidupannya jauh lebih kompleks di bandingkan dengan zaman dahulu.

Di zaman sekarang kita dihadapi dengan akses informasi yang bisa diakses oleh siapun bahkan oleh anak kecil, yang itu jika di luar pantauan kita akan sangat membahayakan, belum lagi kebutuhan yang semakin hari semakin tidak masuk akal, zaman dahulu mungkin untuk memiliki tempat tinggal bisa dengan gampang bahkan hanya dengan mematok tanah saja sudah memiliki tempat tinggal. Sedangkan di zaman sekarang betapa sulitnya hal tersebut, kalau kita lihat data backlog (ketimpangan hunian) di negara kita angkanya sangat tinggi, itu baru hunian bagaimana dengan kebutuhan pokok lain.

Sebenarnya praktek pembatasan anak ini sudah dilakukan dan mendapatkan legitimasi dari Rasulullah SAW yaitu ‘Azl atau mengeluarkan cairan sperma di luar kemaluan istri. Bahkan ada beberapa hadits yang menjelaskan berbagai motif sahabat dalam melakukan hal tersebut, sebagaimana hadits berikut :

إن لي جارية، هي خادمنا وسانيتنا، وأنا أطوف عليها، وأنا أكره أن تحمل، فقال: «اعزل عنها إن شئت، فإنه سيأتيها ما قدر لها

“saya memiliki hamba sahaya dan dia sebagai pembantu dan yang menuangkan air kepada kami, saya berhubungan badan dengannya tapi saya tidak mau dia hamil kemudian Rasulullah SAW menjawab : silahkan lakukan ‘azl jika kamu mau, karena jika taqdir berkata bahwa akan hamil maka akan hamil.”

di riwayat lain ada tambahan redaksi وأنا أريد ما يريد الرجل “saya menginginkan apa yang diinginkan setiap laki-laki”.

Dari hadits di atas mengisyaratkan bahwa pembatasan anak dengan motif apapun tidak menjadi masalah. Tapi praktek pembatasan anak di zaman sekarang mungkin agak berbeda dengan ‘azl pada zaman dahulu, karena ‘azl walau bagaimanapun tidak menghilangkan potensi untuk mempunyai anak sebagaimana dijelaskan juga di dalam hadits. Adapun praktek di zaman sekarang ada yang bersifat sterilisasi atau memutus potensi mempunyai anak dan ada yang tidak bersifat sterilisasi, mungkin yang tidak bersifat sterilisasi masih bisa diikutkan hukumnya dengan hukum ‘azl tersebut, lalu bagaimana yang bersifat sterilisasi apakah masih sama hukumnya atau berbeda? karena ini akan menghilangkan potensi dia memiliki anak apalagi jika keadaan sudah berubah dan dia ingin kembali memiliki anak.

Dalam menjawab persoalan pembatasan anak dengan sterilisasi seperti vaksetomi tentu membutuhkan kajian yang sangat mendalam, bukan hanya dalam aspek agama saja tapi juga harus ditinjau dari aspek sosial kemasyarakatan juga, bagaimanapun itu juga akan berdampak. Semoga pemerintah bisa mengambil keputusan yang bijak khususnya menyesuaikan dengan hasil ijtima’ ulama MUI IV Tahun 2012, rekomendasinya sebagai berikut :

bahwa vaksetomi hukumnya haram, kecuali :
– untuk tujuan yang tidak menyalahi syariat
– tidak menimbulkan kemandulan permanen
– ada jaminan dapat dilakukan rekanalisasi yang dapat mengembalikan fungsi reproduksi seperti semula
– tidak menimbulkan bahaya bagi yang bersangkutan,
– dan tidak dimasukan ke dalam program dan metode kontrasepsi mantap.

wallahu a’lam.

===================

🍀WEB : stisalwafa.ac.id⁣⁣⁣⁣
🍀IG: @stisalwafa_bogor⁣⁣⁣⁣
🍀FB: STIS Al Wafa⁣⁣⁣⁣
🍀Youtube: STIS Al Wafa Channel
🍀FansPage: Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Al Wafa⁣⁣⁣⁣

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *