Oleh : Muhammad Mush’ab, B.Sh, M.E ( Puket 1 STIS Al-Wafa)
Denda Keterlambatan dalam Perspektif Keuangan Syariah : Problematika dan Solusi
Meningkatnya gaya hidup konsumtif di tengah masyarakat mendorong berbagai lembaga keuangan untuk menyediakan beragam fasilitas pembiayaan. Fenomena ini tidak hanya melahirkan lembaga keuangan konvensional yang menawarkan pembiayaan dengan sistem bunga (ribawi), tetapi juga memunculkan lembaga keuangan syariah yang menyediakan alternatif pembiayaan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Kehadiran kedua jenis lembaga ini bertujuan untuk memberikan kemudahan akses finansial bagi masyarakat sekaligus menggerakkan roda perekonomian secara lebih merata, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dan tidak terkonsentrasi pada segelintir pihak.
Namun, dalam praktiknya, lembaga keuangan kerap menghadapi problematika terkait ketidakpatuhan nasabah dalam melakukan pembayaran cicilan. Meskipun berbagai tindakan preventif telah dilakukan, seperti analisis profil nasabah (profiling) sebelum penyaluran pembiayaan, kasus wanprestasi tetap terjadi dan berpotensi merugikan lembaga keuangan.
Sebagai salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini, lembaga keuangan seringkali menetapkan denda bagi nasabah yang terlambat melakukan pembayaran.
Persoalan muncul ketika denda dikaitkan dengan pembayaran utang, karena berpotensi dikategorikan sebagai riba. Hal ini sejalan dengan kaidah fikih:
كل قرض جر نفعا فهو ربا
“Setiap utang yang mendatangkan manfaat maka itu adalah riba.”
Kaidah ini menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga keuangan syariah yang berkomitmen untuk menjalankan operasionalnya sesuai dengan prinsip syariah. Di satu sisi, keterlambatan pembayaran oleh nasabah dapat menimbulkan kerugian signifikan bagi lembaga, terutama jika dana pembiayaan tersebut bersumber dari dana nasabah lain.
Dampak Negatif Akibat Keterlambatan Pembayaran
Syekh Ali Al-Qurra Daghi dalam kitabnya Buhuts fi Fiqh al-Bunuk al-Islamiyah menjabarkan beberapa dampak negatif yang dialami lembaga keuangan syariah akibat keterlambatan pembayaran oleh nasabah, di antaranya:
- Kehilangan Potensi Keuntungan.
Lembaga keuangan tidak dapat memutar kembali dana yang seharusnya diterima pada waktu yang telah ditentukan, sehingga kehilangan potensi keuntungan dari perputaran dana tersebut. - Keterbatasan Akses Pembiayaan.
Lembaga keuangan cenderung lebih selektif dalam memberikan pembiayaan, dengan memprioritaskan nasabah yang memiliki aset untuk dijadikan jaminan. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran terhadap risiko gagal bayar.Praktik ini dapat bertentangan dengan prinsip keadilan dalam syariah, karena berpotensi menghambat akses permodalan bagi mereka yang kekurangan modal, sehingga roda ekonomi hanya berputar pada kalangan tertentu. Kondisi ini tidak sejalan dengan semangat Al-Qur’an dalam Surat Al-Hasyr. - Peningkatan Margin Keuntungan.
Sebagai langkah antisipasi terhadap risiko keterlambatan pembayaran, lembaga keuangan mungkin akan menaikkan margin keuntungan (nisbah bagi hasil atau margin jual beli).
Oleh karena itu, penerapan denda keterlambatan menjadi sebuah polemik. Secara prinsip, denda yang merupakan tambahan atas pokok utang dianggap sebagai riba qardh yang jelas diharamkan. Namun, di sisi lain, lembaga keuangan syariah sebagai kreditur juga menghadapi konsekuensi negatif ketika nasabah menunda pembayaran.
Tanpa adanya sanksi yang memberikan efek jera, nasabah dikhawatirkan akan meremehkan kewajiban pembayaran, yang pada akhirnya akan berdampak buruk pada kesehatan finansial lembaga keuangan.
Dari perspektif hukum positif di Indonesia, belum ada aturan spesifik yang mengkategorikan keterlambatan pembayaran utang sebagai tindak pidana. Namun, dalam syariat Islam, negara memiliki hak untuk memberikan sanksi kepada pihak yang mampu membayar utang tetapi sengaja menundanya. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW:
لي الواجد ظلم يحل عرضه وعقوبته
“Menunda-nunda (pembayaran utang) oleh orang yang mampu adalah suatu bentuk kezaliman yang dapat menghalalkan kehormatannya dan juga dapat dihukum.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Meskipun hadis tersebut memperbolehkan adanya hukuman bagi penunda pembayaran utang, tidak ada keterangan eksplisit bahwa hukuman tersebut boleh berupa denda uang. Di sisi lain, hadis yang menyatakan bahwa setiap tambahan manfaat yang dihasilkan dari utang adalah riba dapat menjadi batasan interpretasi terhadap hadis mengenai hukuman tersebut.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai hukum penerapan denda keterlambatan, penting untuk memahami bahwa debitur (pihak yang berutang) dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis:
a. Debitur Pailit (Bangkrut) : Yaitu debitur yang benar-benar tidak memiliki kemampuan untuk melunasi utangnya.
b. Debitur Mampu dengan Moral Hazard : Yaitu debitur yang sebenarnya memiliki kemampuan finansial untuk membayar, tetapi melakukan tindakan yang disengaja untuk menunda-nunda pembayaran.
Kedua jenis debitur ini memiliki perlakuan hukum yang berbeda dalam syariat Islam. Untuk debitur yang berada dalam kondisi pailit atau kesulitan finansial, seluruh ulama sepakat bahwa wajib hukumnya untuk memberikan penangguhan pembayaran utang.
Sebagaimana firman Allah SWT:
وإن كان ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة
“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan.” (QS. Al-Baqarah: 280)
Namun, perlu ada batasan yang jelas mengenai kapan seorang debitur yang mengalami kredit macet dianggap pailit. Menurut Majma’ al-Fiqh al-Islami (Organisasi Perkumpulan Ulama Islam Sedunia), sebagaimana dikutip oleh Syekh Ali Al-Qurra Daghi, seseorang dianggap pailit apabila ia tidak memiliki kelebihan harta di luar kebutuhan pokok atau primernya yang dapat digunakan untuk melunasi utangnya, baik dalam bentuk uang maupun barang.
Berdasarkan definisi tersebut, seorang debitur tidak dianggap pailit jika ia masih memiliki harta di luar kebutuhan pokoknya. Artinya, meskipun tidak memiliki uang tunai yang cukup, jika ia masih memiliki aset lain yang bernilai dan dapat dijual untuk melunasi utang, maka ia belum dikategorikan pailit. Status pailit baru berlaku ketika ia benar-benar tidak memiliki harta sama sekali di luar kebutuhan pokoknya.
Adapun untuk debitur yang memiliki kemampuan membayar (belum dinyatakan pailit atau hartanya melebihi kebutuhan pokok) tetapi menunda pembayaran atau bermasalah dalam kreditnya, maka berdasarkan hadis yang telah disebutkan sebelumnya, kehormatannya boleh dijatuhkan dan ia boleh dikenai hukuman. Hadis ini menegaskan bahwa orang yang mampu tetapi menunda-nunda pembayaran utang perlu ditindak tegas agar tidak meremehkan kewajiban utang.
Dalam menyikapi persoalan denda keterlambatan ini, setidaknya terdapat dua pandangan utama di kalangan ulama:
1. Ulama yang melarang ta’zir (denda) keterlambatan.
2. Ulama yang membolehkan denda keterlambatan dengan syarat tertentu.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), sebagai lembaga yang memiliki otoritas dalam mengeluarkan fatwa terkait muamalah di Indonesia, telah memberikan fatwa mengenai kebolehan denda keterlambatan. Sebagaimana tertuang dalam Fatwa DSN-MUI No. 17/DSN-MUI/IX/2000, denda keterlambatan (ta’widh atau ta’zir) diperbolehkan, namun dana yang terkumpul dari denda tersebut tidak boleh diakui sebagai pendapatan lembaga keuangan syariah, melainkan harus diperuntukkan untuk dana sosial (dana kebajikan).
Pendapat ini juga dikuatkan oleh pandangan salah satu ulama dari mazhab Maliki yang memperbolehkan adanya syarat bagi debitur untuk mendonasikan sebagian hartanya kepada yang membutuhkan jika ia terlambat dalam pembayaran. Pendapat tersebut dinukilkan oleh Imam Hathab dari Imam Ibnu Dinar, sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Aliyyil Malik fii Al-Fataawaa ‘alaa Madzhab Al-Imam Malik:
وأما إذا التزم أنه لم يوف حقه في وقت كذا فعليه كذا وكذا لفلان أو صدقة للمساكين، فهذا هو محل الخلاف المعقود له هذا الباب فالمشهور أنه لا يقضى به كما تقدم وقال ابن دينار يقضى به
“Adapun jika debitur berkomitmen bahwa jika dia tidak mengembalikan kewajibannya pada tempo waktu tertentu maka dia wajib membayarkan sekian untuk si fulan atau sedekah kepada orang-orang miskin. Maka hal tersebut ada perbedaan di antara para ulama, pendapat yang terkenal bahwa hal tersebut tidak boleh (diputuskan sebagai kewajiban oleh hakim) akan tetapi Ibnu Dinar mengatakan boleh (diputuskan sebagai kewajiban oleh hakim).”
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa denda keterlambatan atau ta’zir dalam konteks lembaga keuangan syariah hanya dapat diberlakukan ketika terjadi wanprestasi dari nasabah yang didasari oleh unsur kelalaian atau kesengajaan (moral hazard), bukan karena ketidakmampuan (pailit). Jika tidak ada unsur kelalaian atau kesengajaan, maka denda tidak dapat dikenakan.
Ketentuan mengenai denda ini harus disepakati secara jelas oleh kedua belah pihak di awal akad. Perbedaan mendasar antara denda keterlambatan dalam sistem syariah dengan riba atau denda pada lembaga keuangan konvensional terletak pada status kepemilikan dan peruntukan dana tersebut. Denda yang diterapkan di lembaga keuangan syariah tidak dapat diakui sebagai pendapatan lembaga, melainkan harus dialokasikan untuk dana sosial atau kebajikan.
===================
🍀WEB : stisalwafa.ac.id
🍀IG: @stisalwafa_bogor
🍀FB: STIS Al Wafa
🍀Youtube: STIS Al Wafa Channel
🍀FansPage: Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Al Wafa