Oleh : Muhammad Mush’ab, B.Sh, M.E ( Puket 1 STIS Al-Wafa)
Dalam suatu komunitas, seringkali terjalin ikatan yang erat, di mana hubungan pertemanan bahkan terasa seperti persaudaraan. Pada momen-momen tertentu, muncul keinginan untuk saling berbagi hadiah, baik sebagai tanda perpisahan maupun untuk mempererat tali kekeluargaan. Anjuran saling memberi hadiah ini selaras dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
تهادوا تحابوا
“Salinglah kalian memberi hadiah, maka akan tumbuh cinta di antara kalian.”
Momentum pemberian hadiah ini terkadang dilakukan secara serentak dalam satu waktu, yang biasa kita kenal dengan istilah tukar kado. Berbagai alasan melatarbelakanginya, seperti menunggu waktu yang tepat atau demi kemudahan bersama.
Dahulu, saya pribadi cenderung pada pendapat yang melarang praktik tukar kado. Alasannya, praktik ini seakan-akan mensyaratkan adanya imbalan atas hadiah yang diberikan, meskipun tidak diucapkan secara tersirat. Dalam terminologi fikih, permasalahan ini dikenal sebagai al-hadiyah bi syarth ats-tsawab (hadiah dengan syarat imbalan).
Jika demikian, esensinya menyerupai akad jual beli karena adanya timbal balik yang disyaratkan, sehingga hukumnya pun mengikuti syarat dan ketentuan jual beli. Apabila tukar kado dihukumi sebagai jual beli, maka akad tersebut menjadi tidak sah karena adanya unsur ketidakjelasan (gharar) pada objeknya, mengingat kado biasanya dibungkus rapat. Setiap peserta tukar kado tidak mengetahui secara pasti apa yang akan ia terima dari orang lain.
Pandangan yang mengharamkan tukar kado ini muncul jika kita melihatnya sebagai akad transaksional semata. Namun, saya merenungkan kembali, apakah praktik ini benar-benar haram dengan alasan tersebut, padahal saya meyakini bahwa niat para pelakunya bukanlah untuk bertransaksi.
Umumnya, mereka melakukannya murni atas dasar ingin memberi hadiah dan didasari kerelaan bersama. Atas dasar inilah, saya mencoba menelaah ulang esensi tukar kado: apakah ia merupakan transaksi yang tidak memperbolehkan adanya gharar yang besar, ataukah ia termasuk dalam kategori pemberian (tabarru’) yang mentolerir adanya unsur ketidakjelasan?
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai hukumnya, kita perlu mendudukkan persoalan ini dengan tepat: apakah yang terjadi dalam tukar kado merupakan sebuah “syarat” ataukah sebuah “komitmen”? Kedua hal ini memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. “Syarat” (الشرط), sebagaimana dijelaskan dalam kamus Al-Muhith, adalah:
الشرط: إلزام الشيء والتزامه في البيع ونحوه
“Syarat adalah mewajibkan sesuatu dan komitmen akan hal itu dalam jual beli dan yang lainnya.”
Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa syarat adalah suatu bentuk kewajiban dan komitmen yang mengikat dari satu pihak kepada pihak lain. Jika konsep ini disandingkan dengan al-hadiyah bi syarth ats-tsawab, maka memang praktik tersebut menyerupai jual beli karena adanya sifat mengikat, di mana kedua belah pihak tidak bisa membatalkan secara sepihak kecuali dengan kerelaan pihak lain.
Syekh Syatho Ad-Dimyati dalam kitab I’anatu ath-Thalibin memberikan contoh mengenai hibah dengan syarat imbalan:
كقوله وهبتك هذا على أن تثيبني عليه
“Seperti perkataan dia: saya memberimu ini, tetapi kamu harus memberikan imbalan atas pemberianku.”
Contoh tersebut memperjelas bahwa hibah dengan syarat imbalan mengandung unsur mewajibkan dari satu pihak kepada pihak lain, sehingga bermakna transaksional layaknya jual beli.
Adapun “komitmen” (التزام), ia berbeda dengan syarat. Komitmen bersumber dari satu pihak dan hanya mewajibkan dirinya sendiri, bukan orang lain. Komitmen terhadap diri sendiri ini senada dengan konsep nadzar, yang wajib dilaksanakan. Sebagaimana kaidah fikih menyebutkan:
من التزم معروفا لزمه
“Barangsiapa yang berkomitmen melakukan kebajikan, maka wajib baginya melakukannya.”
Dalam konteks tukar kado, pemahaman yang lebih tepat menurut saya adalah adanya komitmen dari setiap individu untuk memberikan kado kepada pihak lain, bukan saling mewajibkan antara satu pihak dengan pihak lainnya. Mungkin masih timbul kerancuan karena komitmen ini dilakukan secara bersamaan dalam satu waktu, apakah masih bisa disebut komitmen atau sudah termasuk syarat.
Permasalahan ini sebenarnya serupa dengan fatwa ulama terkait asuransi syariah, yang diperbolehkan atas dasar saling komitmen untuk tabarru’ (mendermakan) kepada orang lain. Majma’ Fiqh Ad-Duwali mendefinisikan asuransi syariah (التأمين التعاوني) sebagai berikut:
التأمين التعاوني: هو اشتراك مجموعة أشخاص يتعرضون لخطر أو أخطار معينة على أن يدفع كل منهم مبلغًا معيّنا على سبيل التعاون لصندوق غير هادف للربح
“Keikutsertaan dari beberapa kelompok orang yang terdampak musibah dan bahaya tertentu, yang mana setiap orang berkomitmen membayar sejumlah uang dalam rangka saling tolong-menolong kepada kas tertentu tanpa tujuan profit/keuntungan.”
Senada dengan konsep komitmen bersama ini, Syekh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in juga menyebutkan bahwa saling berkomitmen atau bernadzar diperbolehkan, dan hal ini bisa menjadi solusi atau jalan keluar jika suatu praktik jual beli dilarang:
وأفتى جمع فيمن أراد أن يتبايعا فاتفقا على أن ينذر كل للآخر بمتاعه، ففعلا، صح، وإن زاد المبتدئ: إن نذرت لي بمتاعك. وكثيرا ما يفعل ذلك فيما لا يصح بيعه ويصح نذره.
“Dan sebagian ulama mazhab Syafi’i berfatwa mengenai orang yang ingin berjual beli, kemudian mereka sepakat untuk saling bernadzar atau berkomitmen memberikan barangnya satu sama lain, lalu mereka melakukannya, maka akad tersebut sah. Bahkan jika pihak yang memulai menambahkan redaksi, ‘Jika kamu berkomitmen/bernadzar kepadaku untuk memberikan barangmu.’ Perkara ini (saling komitmen/nadzar) sering dilakukan pada kasus-kasus yang tidak sah sebagai jual beli, tetapi sah sebagai nadzar.”
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa tukar kado adalah suatu bentuk komitmen bersama untuk saling memberikan hadiah. Tujuan utama para pelakunya bukanlah transaksional, melainkan untuk memberi hadiah demi mempererat tali silaturahim. Dengan pemahaman seperti ini, maka praktik tukar kado diperbolehkan.
===================
🍀WEB : stisalwafa.ac.id
🍀IG: @stisalwafa_bogor
🍀FB: STIS Al Wafa
🍀Youtube: STIS Al Wafa Channel
🍀FansPage: Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Al Wafa